Seandainya Sang Raja Tidak Terburu Nafsu…

artikel

Ya, seandainya saja sang raja tak terburu nafsu, mungkin ia bisa memiliki wanita molek itu secara “sah” dan salah satu leluhur Juruselamat ini tak perlu terjerumus dalam konspirasi-konspirasi jahatnya.

Sebagaimana dikisahkan dalam kitab sejarah, suatu hari ketika raja sedang menikmati pemandangan dari lantai dua istananya, matanya mendadak terseret seperti besi ketika bertemu magnet kepada sebuah sosok jelita yang sedang mandi–tanpa busana tentunya. Ketika sang raja mencari tahu siapa sosok wanita itu, didapatinya bahwa ia sudah menjadi istri dari salah satu panglimanya yang setia.

“Ah, sayang sekali,” mungkin itu pikirnya. “Seandainya masih lajang, tentu ia bisa kujadikan istri baruku. Apalagi sepertinya dia memang sengaja melakukannya supaya terlihat olehku.” Demikianlah pikiran manusia, selalu mendapat alasan pendukung untuk menempuh nafsunya.

Entah mengapa, dengan istri dan gundik yang banyak itu, pikiran sang raja tak pernah bisa lepas dari sosok jelita yang dilihatnya waktu itu. Bisa jadi banyak pikiran berkecamuk di dalam hatinya. Sang raja menginginkannya–wanita cantik itu, namun tentu saja ia tak dapat serta-merta memperistrinya karena ia sudah bersuami.

Satu-satunya cara yang bisa dipikirkan oleh lelaki perkasa yang terbelenggu nafsu ini adalah… selingkuh. Ya, selingkuh. Apa artinya? Sang raja harus bisa menikmati kemolekan tubuh wanita itu tanpa ada seorangpun yang tahu; paling tidak, hanya diketahui oleh sesedikit mungkin orang. Maka seperti yang tercantum di kisah sejarah itu, sang raja pun memanggil si wanita yang tak menunjukkan tanda-tanda penolakan.

Kemudian, sebagaimana kita bisa baca di dalam kitab itu, suami si wanita yang sedang berperang pun buru-buru dipanggil sang raja setelah sang raja mendapat kabar bahwa si wanita menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Dengan berbagai upaya sang raja membujuk si perwira untuk pulang ke rumah dan “berkumpul” dengan istrinya, namun si perwira ini terlalu loyal kepada negara, sehingga menolak untuk pulang ke rumah sebelum perang usai.

Karena “rencana A” raja untuk menutupi perselingkuhannya itu gagal Maka, raja pun merancangkan “rencana B.” Wanita itu harus menjadi istri sang raja, dan hanya ada dua jalan: perceraian atau kematian sang suami. Jalan ketiga, yakni mengakui perselingkuhannya kepada sang suami dan meminta wanita itu baik-baik ditepisnya jauh-jauh. Sang raja yang dahulu pemberani, sekarang menjadi seorang pengecut yang tak berani mengakui kesalahannya.

Sang raja pun menjalankan rencananya. Sebuah plot pembunuhan dirancangkan oleh sang raja. Kita tahu, bahwa sang raja bukanlah orang yang bodoh sehingga mengatur sebuah pembunuhan “langsung.” Sang perwira pun diutus kembali ke medan perang dengan membawa “surat kematian”-nya sendiri. Surat yang harus diserahkan kepada komandannya itu berisi perintah dari raja agar sang perwira “dikondisikan” untuk mudah tewas di medan perang: menugaskannya di barisan terdepan.

Demikianlah konsekuensi dari kejahatan; ia tak pernah bisa berdiri sendiri. Kejahatan pertama harus ditutupi oleh kejahatan kedua, demikian seterusnya. Perselingkuhan sang raja pun sama: berujung pada upaya pembunuhan terhadap sang perwira–yang kemudian mati tanpa tahu bahwa istrinya telah berselingkuh dengan sang raja, dan bahwa sang rajalah yang mengikhtiarkan kematiannya.

Ah, seandainya saja sang raja tak gegabah. Seandainya saja ia tak terburu nafsu, tentulah–jika memang itu kehendak Tuhan–si wanita akan menjadi istrinya secara sah. Tak perlu repot-repot berselingkuh atau merancang sebuah pembunuhan. Jika Tuhan memang berkehendak agar istri si perwira itu kelak akan menjadi istri raja dan melahirkan calon raja yang akan memerintah kerajaan dalam kemegahan dan perdamaian layaknya di surga, tentulah Tuhan sendiri yang akan “mematikan” si perwira di medan laga supaya wanita molek itu bisa menjadi istri raja.

Padahal, kitab sejarah itu juga menuliskan bagaimana di masa mudanya, sang raja adalah seseorang yang pandai menahan diri. Kita tahu bagaimana dalam dua kesempatan ia tak mau membunuh raja yang hendak membunuhnya, padahal bisa dikatakan bahwa hidup-mati raja itu sudah berada dalam genggaman tangannya. Dulu ia bisa bersabar sedemikian rupa, mengapa sekarang tidak bisa? Itulah manusia. Meski sang raja bukanlah orang yang bengis dan berhati kejam, tetap saja ia mempunyai kelemahan. Kelemahan itulah yang kemudian menjerumuskannya dalam rangkaian kejahatan keji di hadapan Tuhan.

Kita perlu belajar dari kegagalan sang raja ini. Jika suatu saat kita memiliki keinginan, kita harus membiasakan diri untuk berdoa, untuk bertanya kepada Tuhan. Sang raja sama sekali tak membawa kegundahan hatinya kepada Tuhan, padahal Tuhan sendiri berkata bahwa ia adalah orang yang menjadi kekasih hati-Nya. Kita perlu mewaspadai bagaimana pemikiran kita berkembang setelah keinginan itu datang. Adakah rencana-rencana jahat mulai berkumpul dalam benak kita? Jika ya, segeralah tinggalkan pemikiran itu dan datanglah kepada Tuhan.

Jangan sampai kita terburu nafsu, biarkanlah Tuhan sendiri yang bekerja. Jangan mendikte Tuhan bagaimana Dia harus menuliskan sejarah hidup kita, karena Dialah Penulis kisah terbaik. Biarkanlah Tuhan sendiri yang menuliskan kisah kehidupan kita, bukan kita, bukan kejahatan kita. Sang Raja telah belajar banyak dari kejahatannya itu. Anak hasil perselingkuhannya mati, dan sejarah hidupnya ke depan pun berubah oleh karena murka Tuhan.