Hutang 3 Trilyun Dianggap Lunas!

artikel

Meski sudah lama mengikut Sang Guru, murid yang satu itu ternyata belum bisa belajar tentang arti pengampunan yang sejati. Itulah sebabnya, dalam sebuat kesempatan ia mendekati Sang Guru dan bertanya–dengan setengah berbisik–tentang berapa kali ia harus menerima perlakuan buruk dari saudaranya. Lebih tepatnya lagi, kapan pembalasan dendam itu dianggap sah, alias wajar.

Tak hanya bertanya, si murid itu bahkan datang dengan sebuah konsep yang tergolong rohani. Secara lugas, ia sebenarnya meminta restu dari Sang Guru untuk melakukan pembalasan dendam setelah tujuh kali mendapat perlakuan buruk dari saudaranya. Angka tujuh bisa dikatakan sebagai angka yang keramat. Angka tujuh menggambarkan jumlah hari yang dipakai Tuhan untuk menciptakan langit dan bumi. Dalam kehidupan sosial-keagamaan mereka, hari ke-7 merupakan hari libur yang diwajibkan atas mereka.

Akan tetapi niatnya itu ternyata bertepuk sebelah tangan. Sang Guru memang tidak secara gamblang melarangnya untuk membalas dendam, namun beliau memberikan “rumusan” baru, yakni 70×7, itu artinya si murid harus tujuh puluh kali lipat lebih sabar. Seandainya saudaranya itu menjahati dia sekali sehari, maka itu berarti ia baru bisa membalas saudaranya itu setelah… 1 tahun 4 bulan dan 5 hari!

Sang Guru sepertinya mengajak muridnya itu untuk melupakan niatnya membalas dendam. Untuk memberikan pengertian yang lebih mendalam, Sang Guru memberikan sebuah perumpamaan tentang seseorang yang berhutang sebesar lebih kurang 3 trilyun rupiah kepada raja tapi kemudian dihapuskan hutangnya oleh sang raja karena belas kasihan. Namun ternyata sepulang dari istana, orang tersebut justru menagih hingga memenjarakan temannya yang berhutang kepadanya sekitar lima juta rupiah. Sang raja yang mengetahui perkara itupun tak lagi menarik kembali “surat penghapusan hutang”-nya dan menyerahkannya ke tangan para algojo.

Sang Guru menyamakan kesalahan yang diperbuat orang lain kepada kita dengan hutang. Ketika seseorang berbuat salah kepada kita, seolah-olah orang itu berhutang kepada kita. Dan ketika kita membalas orang tersebut, seolah-olah kita sedang menagih hutangnya. Mata ganti mata, gigi ganti gigi, begitu istilahnya. Konsep inilah yang banyak kita pegang, entah disadari atau tidak. Dan sebenarnya, konsep ini adalah konsep yang benar dan adil. Akan tetapi Sang Guru menambahkan satu konsep lagi yang membuat balas dendam itu menjadi sangat tidak adil. Apakah itu?

Perkenalkan, inilah konsep Anugerah. Memang benar bahwa mungkin ada satu atau beberapa orang tertentu yang “berhutang” pada kita, orang-orang yang menjahati kita tanpa sebab yang jelas. Dan kita berhak untuk membalasnya, seandainya tak ada Anugerah itu. Anugerah itu adalah kenyataan bahwa kitapun sebenarnya orang-orang yang “berhutang” terlalu banyak kepada Sang Raja, namun oleh karena belas kasihan, Sang Raja itu memberikan anugerah berupa pembebasan dari segala jenis tagihan.

Nah, jika kita sudah mendapatkan anugerah itu (baca: penghapusan hutang tak terlunaskan) tapi masih tetap menagih hutang orang lain kepada kita, maka itu berarti kita telah berbuat tidak adil. Kalau bukan tidak adil, mungkin kata “tidak tahu malu” akan sangat cocok dialamatkan kepada kita, benar kan? Jika hutang kita sebesar tiga trilyun saja dianggap lunas, masakan kita masih mau menagih teman kita yang berhutang lima juta rupiah saja?

Jadi bagaimana dengan anda, masih berniat membalas dendam? 😀