Timo dan Ruang Publik

bajaj bbg, Cerpen, ruang publik, sampah
Di dalam bajaj biru yang sedang melaju dari arah Timur, ada tiga penumpang yang adalah sahabat sekaligus teman seangkatan dan pengurus persekutuan kampus. Masih agak pagi. Jalananpun masih cukup bersahabat. Ketiga sahabat itu, Timo, Eko, dan Jayus, baru saja membeli beberapa lusin kue di pasar untuk konsumsi perjamuan kasih yang akan dilangsungkan siang nanti.

“Wah, untung saja tadi gua ikut ya, jadi bisa nyicip-nyicip kue di pasar,” ujar Timo yang sedang asyik menyantap lemper kesukaannya.

“Dasar gembul si Timo ini, mau ikut nyiapin persekutuan kalo ada makan-makannya doang,” tukas Eko.

“Terserah lu mau bilang apa, Ko, yang penting gua bisa makan lemper favorit gua,” Sahut Timo sambil mengunyah lempernya.

“Ssst… sebentar, kalian jangan berisik dulu, aku lagi BBMan sama mamakku di kampung ini,” sela Jayus.

“Yaelah, Jay, kenapa pulak kau repotkan mamak kau itu? Biarkan dia tenang di alam sana, eh, maksudnya, di kampung sana,” jawab Eko sambil menirukan logat sahabatnya itu.

“Hahaha, Batakan elu daripada Jay, Ko,” sahut Timo, “wah, gigitan terakhir nih, musti dihayati bener-bener.” Timo memejamkan matanya sambil menggigit lempernya yang tinggal seruas jari itu.

“Huu, udah gembul, lebay pulak kau, Mo.”

Timo tak peduli. Pelan-pelan digigitnya lemper itu, lalu tangannya bersiap hendak membuang bungkusnya ke jalan. Tapi Eko buru-buru merebut bungkus lemper itu dari tangannya.

“Eits, jangan buang sampah sembarangan, Mo.”

“Ciyee, jadi pejuang lingkungan lu sekarang? Gabung Mapala lu?” Ledek Timo.

“Yee, dibilangin baik-baik malah ngeledek. Kan lu bisa simpen dulu di tas lu sementara, baru ntar dibuang kalo ketemu tempat sampah, Mo.” Jawab Eko agak ketus.

“Yes!” Tiba-tiba Jayus berteriak, “Tembus proposal awak ke mak, besok bisa ke lapo awak!”

“Alah, ini lagi, minta duit ortu aja pake istilah proposal-proposal segala,” tukas Timo, “Eh tapi baguslah, Jay, gua bisa ngikut lu ke lapo,” sambungnya sambil nyengir.

Nggak ah, kau itu sudah tak elok parasnya, tak elok pula sikapnya, suka buang sampah sembarangan. Nanti malah bikin malu aku,” jawab Jayus.

“Yaelah kalian ini, cuman bungkus lemper aja dimasalahin segitu sik?” gerutu Timo.

“Ini bukan masalah banyak-dikitnya sampah yang lo buang, Mo,” sahut Eko, “Coba gini deh. Kamu buang bungkus lemper ini di bajaj ini aja, gimana?” sambung Eko sambil bisik-bisik supaya tak didengar supir bajaj.

“Wah, kasihan bapak supirnya dong, Ko, lagian nggak enaklah sama pak supir. Kalo di jalan kan nggak bakalan ada yang marah.” Jawab Timo, sambil bisik-bisik juga.

“Nah, itu dia!” Eko tiba-tiba mengencangkan suaranya, “Kita selalu berpikir, bahwa jalan raya itu bukan milik siapa-siapa, jadi kita bisa sembarangan buang sampah di situ. Padahal itu salah besar, Mo. Betul nggak, Jay?”

“Iya, benar itu. Justru jalan raya itu milik semua orang. Milik kita-kita ini juga, Mo. Kau pernah tidak, buang sampah basah macam bungkus lemper itu di lantai kamarmu? Atau pernah tak, kau buang sampah di halaman rumah tetangga?”

“Ngg… nggak pernah sih, Jay,” jawab Timo, “gila aja, bisa diomelin mama gua ama tetangga kalo kejadian…” sambungnya.

“Nah, kalo lantai kamar atau halaman rumah tetangga yang milik pribadi saja seperti itu, apalagi tempat-tempat umum kan?” Sahut Jayus. Timo terdiam.

“Dengerin tuh, Mo, apa yang dibilang Jay. Bangsa kita memang musti belajar tenggang rasa dari dasar. Kita bebas melakukan apa aja selama nggak ngelanggar hak orang lain. Nah, orang-orang kan berhak tuh, punya jalan, taman, ama sungai yang bersih alias bebas sampah. Sayangnya sekarang ini hampir nggak ada lagi yang mikir kayak begini,” sahut Eko, “Malahan tambah banyak loh, yang naik mobil bagus tapi buang sampah di jalan. Hadeehh..” sambungnya sambil menepuk jidatnya yang berjerawat.

“Hmmm… bener juga sih ya kalo dipikir-pikir, jalan raya, taman, sungai, itu semua bukan nggak ada yang punya, tapi justru punya kita semua ya?” ujar Timo sambil manggut-manggut.

Eko menimpali, “Nah, syukurlah kamu sudah sadar, Mo. Dan nggak cuman itu, Mo. Kita ini kan anak-anak Tuhan, trus Tuhan kan yang nyiptain seluruh dunia ini…”

“Jadi, jalan raya, taman-taman, sungai-sungai, itu semua bukan cuman milik kita semua, tapi juga milik Tuhan yang harus kita jaga kan?” Potong Timo.

“Pinterrr!!” Sahut Jayus dan Eko bersamaan.

“Oke-oke, gua ngaku salah. Mana tadi bungkus lempernya, Ko, biar gua simpen di tas gua sementara.” Ujar Timo. Eko menyerahkan bungkus lemper itu kepada Timo, yang langsung dimasukkannya ke dalam tas.

“Nah, gitu dong, Mo. Kalo kau jadi anak baik macam gini, tak malu aku ajak ke lapo, hehehe.” Sahut Jayus sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu.

Tak lama kemudian, merekapun sampai di kampus, turun dari bajaj, membayar ongkos bajaj sambil berterima kasih kepada pak supir, lalu berjalan beriringan menuju ruang persekutuan.

Di dalam benak Timo, sudah terbayang aroma saksang yang harum itu. Hmm….

Bajaj ramah lingkungan